Di Detik .Com beberapa minggu yang lalu sempat saya baca berita disalah satu sekolah dasar negeri,ada kakak beradik yang malu tidak mau sekolah lagi atau lebih tepatnya dibodohkan terang terangan oleh pihak institusi yang bernama SEKOLAH. Sangat menyedihkan!.Ironi sekali hal ini bisa terjadi pada lembaga yang notabene harusnya menjadi kawah pengodokan intelektualitas, mengasah rasa dan asa bagi anak anak negeri ini. Hanya karena rupiah (baca uang sekolah) yang ditagikan kepada mereka di depan kelas oleh Yang terhormat tuan kepala sekolah. Hal serupa pernah juga saya alami selaku staf pendidik di salah satu sekolah dasar di Jakarta. Ketika siswa hendak mengerjakan ulangan umum bersama tiba tiba ada pemberitahuan bahwa yang belum melunasi uang sekolah tidak diperkenankan mengikuti ulangan umum bersama. Waktu itu sempat beberapa staf pengajar memprotes tapi rupanya pihak yayasan bersikukuh hal itu tetap dilaksanakan, syukur kejadian itu cuma berlangsung satu jam pelajaran karena buru buru pihak yayasan menarik kembali keputusannya. Tapi tetap saja efek psikologis bagi anak anak masih terasa karena sudah diumumkan didepan kelas atau sekolah.
Ada anak yang menangis, ada yang nggak mau sekolah besok harinya, malu, takut, walaupun ada juga yang hanya senyum senyum saja. Yang hendak saya garis bawahi adalah, alangkah baiknya jika segalah urusan administrasi baik itu uang sekolah, seragam dan lain sebagainya yang tidak bersangkutan dengan pembelajaran secara langsung hendaknya tidak melibatkan siswa ataupun anak didik, biarlah pihak sekolah yang berhubungan langsung dengan wali murid atau orang tua anak . Saya sebenarnya bukan pakar psikologi ataupun pakar pendidikan , tapi saya sedikit bisa merasakan apa yang anak anak itu rasakan . Bayangkan saja kalau aib kita atau kita punya hutang ditagih di depan orang banyak ( ini bukan pengalaman pribadi lho..he..he..). Lepas dari semua itu rasanya tidak lah terlambat dan harus kita mulai, merubah konsep lama bahwa sekolah yang dulu hanya mencetak manusia manusia yang hanya pintar dalam berhitung, menghafal ( contoh tuan kepala sekolah ) tapi juga mampu mengenal dan memahami emosi ( kecerdasan emosional) , spiritual dan juga mempunyai kemampuan bertahan dalam hidup. Sehinggah berkuranglah orang orang yang bermental budak ( maaf jika kurang sopan). Tentu saja harapan yang besar dan juga mimpi mimpi indah tentang dunia pendidikan yang ideal harus terus ada dalam pikiran kita, mungkin suatu saat kita akan menjadikannya kenyataan. Ini adalah kerja jamaah.
Tapi lagi lagi, Ya Tuhan ...beberapa hari yang lalu, di sekolah anak saya hal serupa terjadi lagi (akhirnya ingin saya share dalam bentuk tulisan)...anak saya pulang sekolah menyampaikan kerihatinannya akan nasib temannya yang disuruh maju didepan kelas, sambil principlenya sedikit bicara mengancam. Jika besok tidak melunasi uang sekolah tidak boleh mengikuti pelajaran term selanjutnnya. Ah...bukan hanya di dalam negeri di luar negeripun yang namanya lembaga pendidikan jika masih dikelolah orang orang bermental budak, kurang faham psikologi anak, walaupun bergelar panjang dari A sampai Z, yang ada pola pola pendidikan yang nggak manusiawi. Walaupun saya percaya masih banyak pendidik pendidik yang punya hati nurani, dan mengabdikan hidupnya untuk kemajuan anak didiknya. Salut buat mereka !. Semoga guru guru saya dan guru yang lain mendapat pahalah dari Tuhan "kebaikan, keberkahan dan kemudahan hidup di dunia dan akherat. Amin..."
Ada anak yang menangis, ada yang nggak mau sekolah besok harinya, malu, takut, walaupun ada juga yang hanya senyum senyum saja. Yang hendak saya garis bawahi adalah, alangkah baiknya jika segalah urusan administrasi baik itu uang sekolah, seragam dan lain sebagainya yang tidak bersangkutan dengan pembelajaran secara langsung hendaknya tidak melibatkan siswa ataupun anak didik, biarlah pihak sekolah yang berhubungan langsung dengan wali murid atau orang tua anak . Saya sebenarnya bukan pakar psikologi ataupun pakar pendidikan , tapi saya sedikit bisa merasakan apa yang anak anak itu rasakan . Bayangkan saja kalau aib kita atau kita punya hutang ditagih di depan orang banyak ( ini bukan pengalaman pribadi lho..he..he..). Lepas dari semua itu rasanya tidak lah terlambat dan harus kita mulai, merubah konsep lama bahwa sekolah yang dulu hanya mencetak manusia manusia yang hanya pintar dalam berhitung, menghafal ( contoh tuan kepala sekolah ) tapi juga mampu mengenal dan memahami emosi ( kecerdasan emosional) , spiritual dan juga mempunyai kemampuan bertahan dalam hidup. Sehinggah berkuranglah orang orang yang bermental budak ( maaf jika kurang sopan). Tentu saja harapan yang besar dan juga mimpi mimpi indah tentang dunia pendidikan yang ideal harus terus ada dalam pikiran kita, mungkin suatu saat kita akan menjadikannya kenyataan. Ini adalah kerja jamaah.
Tapi lagi lagi, Ya Tuhan ...beberapa hari yang lalu, di sekolah anak saya hal serupa terjadi lagi (akhirnya ingin saya share dalam bentuk tulisan)...anak saya pulang sekolah menyampaikan kerihatinannya akan nasib temannya yang disuruh maju didepan kelas, sambil principlenya sedikit bicara mengancam. Jika besok tidak melunasi uang sekolah tidak boleh mengikuti pelajaran term selanjutnnya. Ah...bukan hanya di dalam negeri di luar negeripun yang namanya lembaga pendidikan jika masih dikelolah orang orang bermental budak, kurang faham psikologi anak, walaupun bergelar panjang dari A sampai Z, yang ada pola pola pendidikan yang nggak manusiawi. Walaupun saya percaya masih banyak pendidik pendidik yang punya hati nurani, dan mengabdikan hidupnya untuk kemajuan anak didiknya. Salut buat mereka !. Semoga guru guru saya dan guru yang lain mendapat pahalah dari Tuhan "kebaikan, keberkahan dan kemudahan hidup di dunia dan akherat. Amin..."